Semilir angin terasa menyapu kulit Ami. Satu jam lamanya ia berdiri menanti angkutan umum yang akan mengantarnya ke sekolah. Namun yang di nanti tak datang juga.
"Ya ampun!" pekik Ami sambil menepuk dahinya keras, "sekarang kan hari minggu. Ngapain aku mesti capek-capek dari subuh nungguin angkot ya," lanjutnya.
Ia lalu melangkahkan kaki menuju ke rumahnya kembali. Minggu ini terasa begitu lain. Senyap. Dingin. Tidak begitu banyak orang yang lalu lalang di jalanan. Aneh.
"Eh Bimo! Ngapain kamu di situ sendirian?" sapa Ami kepada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di pembatas jembatan. Menatap dingin ke bawah. Ke arah sungai yang mengalir deras. Namun yang ditanya diam saja. Membuat Ami bergidik ngeri melihat ekspresinya yang angker.
"Ya ampun," lagi-lagi Ami menepuk dahinya keras. Kebiasaan buruk yang selalu dilakukannya jika ia tiba-tiba menyadari sesuatu. "itu bukannya Bimo anak RT sebelah yang kemarin meninggal karena hanyut di sungai ya?" gumamnya lirih. Ia lalu mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah.
Dari kejauhan ia melihat rumahnya begitu ramai. Seperti sedang kedatangan tamu rombongan yang entah dari mana. Dibakar rasa penasaran Ami berlari.
Ketika sampai persis di depan rumahnya. Matanya melotot ngeri. Bibirnya mangap selebar-lebarnya. Apa yang sedang ia lihat saat ini sangatlah tidak mungkin.
"Nenek?" bisik Ami kepada dirinya sendiri ketika matanya tertumbuk pada satu sosok tua nan ringkih yang sedang tersenyum ke arahnya.
Nenek itu lalu berjalan menghampiri Ami yang baru tiba di rumah. Tapi secara reflek Ami memundurkan langkahnya menjauh.
"Nggak. Nggak mungkin, nenek kan udah lama meninggal, kenapa nenek ada di sini?"
"Nenek dan saudara-saudara yang lain datang ke sini untuk menjemput kamu sayang..." jawab nenek lembut.
"Jemput?"
Nenek mengangguk lalu melambaikan tangan ke belakang. Memanggil rombongan penjemput itu untuk mendekat kepada Ami.
"Bude? Kakek? Amin? Om Aris? Ayah???" Ami seolah sedang mengabsen mereka semua dengan nada tak percaya.
Ami sangat bingung sekali, mengapa sehari ini ia melihat begitu banyak hal yang aneh dan bertemu dengan orang-orang yang sudah meninggal senyata ini, sedekat ini.
"Anak yang malang... Sini ayah peluk, kita kan belum pernah ketemu. Sini peluk ayah nak,"
"Ayah aku kangen."
"Sini sayangku,"
Ami berjalan mendekat ke arah laki-laki yang ia panggil ayah itu. Ia memang belum pernah bertemu dengan ayah sebelumnya. Ayahnya meninggal saat Ami masih berusia dua tahun. Ia hanya tahu sosok dan rupa ayahnya melalui foto.
"Sayang, ayah akan bantu kamu. Nanti ayah akan memberi mamamu petunjuk untuk menemukan jasad kamu sayang,"
"Jasad aku Yah? Maksudnya?"
"Kamu menghilang sayang. Tapi tidak ada yang tahu kamu sekarang di mana. Dan kamu sudah meninggal sayang... Jasad kamu ada di hilir sungai. Kamu tenggelam saat mengikuti para relawan untuk mengarungi sungai mencari Bimo, anak kecil yang tadi kamu temui di jembatan," jelas nenek.
"Namun sayangnya, tidak ada yang menyaadari kalau kamu tenggelam sayang," timpal ayah.
"Jadi aku sudah mati?" tanyanya sambil menangis. Diikuti oleh anggukan kepala serempak para rombongan penjemput.
Sekian.