The Bird

Selasa, 15 September 2015

Enyah Saja!


Darah mengalir deras
Berputar-putar
Mengaduk tiap jengkal pembuluh
Panas

Darahku mengalir deras
Keras
Tidak, aku tak tewas
Hanya marah!

karena asap
Pekat
Membuat jalanan senyap
Kuat
berhembus lewat angin

Oh A...ku.
ingin kau para pembakar segera lenyap!!!
Muak
Kau siksa kami demi rupiah
yang bahkan semakin tak berharga

Hai kau para menyulut
Kau tak saja membakar lahan
tapi kau!
Membakar amarah seluruh negeri ini!

Bayiku menangis sesak
Pagiku tak lagi cerah ceria
Aku muak!
Enyahlah saja!

1,38 Cm


Berbagai rasa penasaran memenuhi hati dan pikiran. Seperti apa isi dalam perutku ini? Setelah tujuh minggu tidak kedatangan si merah.

Berbekal info dari internet aku dan dia berangkat menuju ke sebuah alamat yang telah kami catat sebelumnya. Alamat seorang dokter SpOG. Ini adalah pengalaman pertamaku.

Setelah sampai di tempat tujuan kami tidak menyangka bahwa antrian pasiennya akan sepanjang itu. Sebenarnya kami mendapat nomor antrian sebelas, tapi karena datang terlambat akhirnya kami harus menunggu satu atau dua pasien dulu memasuki ruang periksa. Dan ketika namaku dipanggil oleh para perawat.

"Nyonya Adinda Kumala, silakan."

Jantungku berdebar. Akan seperti apa pemeriksaannya nanti.

"Assalamualaikum," sapa dokter SpOG itu. Ia seorang wanita berjilbab yang cantik dan anggun. Meski mukanya terkesan agak dingin padahal senyum menghias di bibirnya.

"Wa'alaikumsalam bu dokter," sahutku dan dia bebarengan.

"Ada keluhan apa bu?"

"Nggak, cuma mau periksa kehamilan awal. Sudah tes sendiri hasilnya positif, terakhir mens tanggal 3 Juni 2015 bu dokter," jelasku panjang lebar.

"Umm, oke... Kita USG dulu ya... Mari silakan di ruangan ini bu."

Aku, dia, bu dokter dan seorang perawat berjalan menuju ke sebuah bilik bertirai gorden tebal. Di dalamnya ada sebuah TV plasma 29" yang digantung di tembok, sementara persis di bawah TV ada sebuah kasur dari busa yang membujur dalam satu garis lurus. Di sebelah kasur ada sebuah alat yang aku duga itu adalah alat USG.

"Silakan baring di sini bu," kata sang suster, ia lalu melumuri perutku dengan cairan gel.

Bu dokter lalu menempelkan alat seperti spatula di atas perutku yang telah dilumuri gel tadi. Voila! Terpampanglah isi dalam perutku.

"Bu Adinda, ini dalam perut ibu sudah terlihat kantong janinnya... Mari kita perbesar gambarnya ya..." kata dokter sambil mengulik mesin di depannya dan menekan-nekan lembut perutku.

Aku lirik dia. Dia hanya tersenyum padaku sekilas lalu kembali fokus memperhatikan layar plasma. Aku mengikuti pandangannya.

"Nah... Selamat, ibu memang hamil, di sini sudah terlihat janinnya. Ini dia janin ibu dan bapak. Panjangnya sudah mencapai 1,38cm, usia kandungan tujuh minggu lima hari. Oya, mari kita cek apa sudah ada denyut jantungnya."

Dug dug dug dug dug dug

"Nah sudah ada denyutnya, 165denyut per menit. Dari perkembangan ini berarti kondisi ibu dan janinnya normal. Ada yang di tanyakan?"

"Nggak bu dokter, cukup jelas. Terimakasih."

Aku merasa cukup dan tidak ada pertanyaan. Hasil USG sudah cukup jelas, karena masih sangat kecil aku tidak mau merepotkan dokternya untuk bertanya-tanya yang mana kepala dan lain sebagainya. Lanjut ke sesi konsultasi saja. Bahagia rasanya mengetahui ada sesuatu yang paling ditunggu sudah ada di dalam perut. Nggak sabar untuk menanti perut ini membesar dan melihat perkembangannya di dalam.

Suara denyut jantung tadi terngiang-ngiang di telinga hingga terbawa mimpi. Sehat terus sayang...

Sampai jumpa di layar plasma bulan depan dedek... Baik-baik dalam perut bunda yaa.

Sekian.

Ami

Semilir angin terasa menyapu kulit Ami. Satu jam lamanya ia berdiri menanti angkutan umum yang akan mengantarnya ke sekolah. Namun yang di nanti tak datang juga. 

"Ya ampun!" pekik Ami sambil menepuk dahinya keras, "sekarang kan hari minggu. Ngapain aku mesti capek-capek dari subuh nungguin angkot ya," lanjutnya.

Ia lalu melangkahkan kaki menuju ke rumahnya kembali. Minggu ini terasa begitu lain. Senyap. Dingin. Tidak begitu banyak orang yang lalu lalang di jalanan. Aneh.

"Eh Bimo! Ngapain kamu di situ sendirian?" sapa Ami kepada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di pembatas jembatan. Menatap dingin ke bawah. Ke arah sungai yang mengalir deras. Namun yang ditanya diam saja. Membuat Ami bergidik ngeri melihat ekspresinya yang angker. 

"Ya ampun," lagi-lagi Ami menepuk dahinya keras. Kebiasaan buruk yang selalu dilakukannya jika ia tiba-tiba menyadari sesuatu. "itu bukannya Bimo anak RT sebelah yang kemarin meninggal karena hanyut di sungai ya?" gumamnya lirih. Ia lalu mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah.

Dari kejauhan ia melihat rumahnya begitu ramai. Seperti sedang kedatangan tamu rombongan yang entah dari mana. Dibakar rasa penasaran Ami berlari.

Ketika sampai persis di depan rumahnya. Matanya melotot ngeri. Bibirnya mangap selebar-lebarnya. Apa yang sedang ia lihat saat ini sangatlah tidak mungkin. 

"Nenek?" bisik Ami kepada dirinya sendiri ketika matanya tertumbuk pada satu sosok tua nan ringkih yang sedang tersenyum ke arahnya.


Nenek itu lalu berjalan menghampiri Ami yang baru tiba di rumah. Tapi secara reflek Ami memundurkan langkahnya menjauh.

"Nggak. Nggak mungkin, nenek kan udah lama meninggal, kenapa nenek ada di sini?"

"Nenek dan saudara-saudara yang lain datang ke sini untuk menjemput kamu sayang..." jawab nenek lembut.

"Jemput?"

Nenek mengangguk lalu melambaikan tangan ke belakang. Memanggil rombongan penjemput itu untuk mendekat kepada Ami. 

"Bude? Kakek? Amin? Om Aris? Ayah???" Ami seolah sedang mengabsen mereka semua dengan nada tak percaya.

Ami sangat bingung sekali, mengapa sehari ini ia melihat begitu banyak hal yang aneh dan bertemu dengan orang-orang yang sudah meninggal senyata ini, sedekat ini.

"Anak yang malang... Sini ayah peluk, kita kan belum pernah ketemu. Sini peluk ayah nak,"

"Ayah aku kangen."

"Sini sayangku,"

Ami berjalan mendekat ke arah laki-laki yang ia panggil ayah itu. Ia memang belum pernah bertemu dengan ayah sebelumnya. Ayahnya meninggal saat Ami masih berusia dua tahun. Ia hanya tahu sosok dan rupa ayahnya melalui foto.

"Sayang, ayah akan bantu kamu. Nanti ayah akan memberi mamamu petunjuk untuk menemukan jasad kamu sayang,"

"Jasad aku Yah? Maksudnya?"

"Kamu menghilang sayang. Tapi tidak ada yang tahu kamu sekarang di mana. Dan kamu sudah meninggal sayang... Jasad kamu ada di hilir sungai. Kamu tenggelam saat mengikuti para relawan untuk mengarungi sungai mencari Bimo, anak kecil yang tadi kamu temui di jembatan," jelas nenek.

"Namun sayangnya, tidak ada yang menyaadari kalau kamu tenggelam sayang," timpal ayah.

"Jadi aku sudah mati?" tanyanya sambil menangis. Diikuti oleh anggukan kepala serempak para rombongan penjemput.

Sekian.

Mantan Supervisor


"What? Kenapa ayah resign dari kerjaan ayah? Nanti cicilan rumah dan belanja dari mana yah? Bunda kan udah nggak kerja, dagangan juga untungnya segini aja."

"Bunda... Sejak awal kita menikah kita punya kan dana darurat? Sementara kita pakai dulu dana darurat itu ya bun... Ayah mau cari kerja yang lainnya."

"Iya tapi kenapa ayah tiba-tiba keluar? Ada masalah?"

"Nggak ada, hanya saja ayah merasa kalau jadi supervisor di pabrik ini, ayah nggak bisa berpenghasilan lebih, ayah ingin kita punya tabungan lebih buat anak kita kelak," jawab Sukirman sambil mengusap perut istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.

"Lalu ayah mau cari kerja di mana?"

"Di mana saja bisa bun, doakan ayah ya..."

Sungguh hal yang sangat tidak wajar dan aneh. Sukirman melepas begitu saja karirnya yang sedang memucak, ia bahkan akan dinaikkan jabatannya menjadi seorang manager. Tapi ia malah memilih utuk mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain. Sebenarnya pekerjaan macam apa yang diinginkan oleh Sukirman?

"Selamat anda di terima dan bisa mulai bekerja besok."

"Terimakasih Pak."

Tak begitu lama Sukirman mendapatkan pekerjaan baru. Ia bekerja sebagai Sales. Bukan sembarang sales. Barang yang dijualnya tidak ada yang berharga murah. Pelanggannya bukan perorangan melainkan suatu perusahaan atau pabrik. Ia bekerja menjual berbagai macam kebutuhan peralatan pabrik.

Sejak saat itu Sukirman merasa menjadi lebih hidup. Ia tidak lagi merasa bekerja dalam penjara. Ia mempunyai banyak relasi dan kenalan baru dalam pekerjaannya yang baru ini, dimana relasi dan kenalan barunya ini juga membuka rejeki dan memperluas peluang usaha rumahan istrinya.

Ia senang meski ia tidak memiliki tahta atau jabatan, tetapi gaji, penghasilan, pengetahuan, kenalan dan pengalamannya bertambah.

"Oh, suamimu cuma kerja jadi sales sekarang? Bukannya dulu supervisor? Korupsi ya?"

Tidak sedikit tetangga yang suka usil dengan komentarnya yang pedas. Seulas senyum cukup untuk menjawab perkataan mereka yang selalu ingin tahu.

Sekian...

Inilah Kau


Kau tak lagi pernah bilang sayang
Tak lagi pernah melantunkan lagu nina bobo untukku
Tidak pernah memberiku hadiah

tapi kau kini selalu mengecup keningku untuk membangunkanku
kau selalu mengecup pipiku untuk mengantarku tidur
senyummu menghiasi mataku saat aku terbangun
pelukanmu selalu menghangatkanku di tengah embun pagi

Kau tidak pernah ucap kata cinta
tapi jelas kau cinta, aku tahu!
Kau tak pernah bilang kau peduli
tapi jelas kau peduli, aku pun tahu!
Kau tak memberi apa yang aku inginkan, tapi kau selalu mampu memenuhi apa yang aku butuhkan.

Kau tahu?
Ratusan hari telah kita lalui
Kau selalu mampu membuatku jatuh cinta, lagi... dan lagi...
Itulah kau...